Disampaikan oleh Muhammad Nazar; Ketua Dewan Presidium SIRA pada sidang di pengadilan Negeri Banda Aceh, senin, 28 April 2003
Assalamualaikum Wr.Wb
Segala puji dan syukur kepada Allah SWT, yang senantiasa maka kuasa menghilangkan segala kebathilan, segala penindasan, dan penjajahan. Dialah yang menggantikan segala kejahatan yang bathil yang menindas dan yang menjajah dengan kebenaran, keadilan dan kemerdekaan. Demikian pula salawat salam kepada Rasullullah Muhammad SAW yang sudah melakukan perjuangan agung dan mengemban Risalah suci sebagaiman diintruksikan oleh Allah SWT. juga kepada seluruh keluarga serta sahabat beliau yang telah mendampinginya selama, membantunya dengan penuh loyalitas dan keikhlasan sehingga perjuangan menegakkan kebenaran, keadilan dan kemerdekaan bagi seluruh manusia telah berhasil dilakukan dalam waktu yang tidak terlalu lama yakni lebih kurang selama 23 tahun. Sekarang apa yang telah dilakukannya itu telah menjadi referensi bagi umat muslim bahkan berbagai bangsa didunia karena beliau diwahyukan untuk membawa rahmat bagi sekalian alam.
Majelis hakim dan jaksa penuntut umum yang saya hormati, penasehat hukum yang saya banggakan serta seluruh pengunjung persidangan ini, dan termasuk rekan-rekan wartawan yang saya muliakan.
Sebelum saya membacakan atau menyampaikan eksepsi ini lebih jauh, perkenankanlah saya membaca sebuah puisi yang telah saya rangkai, puisi adalah bahasa nurani, bahasa jiwa, bahasa cinta kepada kemanusiaan dan
kebenaran, bahasa benci kepada penindasan dan penjajahan. Puisi ini sampai sekarang tidak saya judulkan tetapi paling kita mendengar dan menikmatinya saja.
” saat-saat lidah malam mendiangkan gema takbirnya sejenak gerombolan Orang-orang tak Dikenal (OTK) telah menerobos lorong-lorong dini hari yang masih gelap menobrak pintu-pintu kebebasan yang masih terpancang kuat.
Padahal dini hari yang sunyi suci sedang mengalirkan keindahan, mencerahkan kesucian kepada orang-orang yang sedang menunggu dengan ikhlas datangnya kebebasan pagi mencari kebebasan abadi yang cemerlang.
Gerombolan orang-orang tak dikenal (OTK) berhasil membangunkan kelelapan dengan gaya mereka yang terbudaya moncong senapan yang amat siaga, suara lantang berbahasa sendiri dan surat ditangan berteriak ” Hei, Cepat, kami hanya menjalankan perintah atasan, tahu….!”
Ooo.. aku dan orang-orang yang setia baru mengenal orang-orang berpenampilan OTK itu.
Aku semakin berupaya nenyadarkan diri, lebih sadar dari masa-masa yang lalu.
Gerombolan yang sudah kukenal itu sedang menjalankan perintah tuan mereka yang akan dilanjutkan oleh gerombolan-gerombolan lainnya agar:
Demokrasi segera diborgol dengan kekuasaan energi tirani tanpa kompromi
Kebebasan segera di-DPO-kan dengan perintah yang arogan.
Keadilan segera dikuburkan keliang yang paling dalam, kemanusiaan segera disayat-sayat dengan pisau penindasan
Lalu semua itu mesti segera dikurung dalam penjara yang membawa kelumpuhan, mala petaka dan kematian segala kehidupan.
Aku semakin sadar lagi
Mereka secara kolegial melaksanakan perintah-perintah itu agar:
Perdamaian tidak akan subur
Peradaban tidak akan bersemi di negeri yang diperebutkan ini
Antara pencamplok dan pemilik negeri sendiri
Pencamplok masih berambisi menjadi agresor bengis
Pencaplok masih berbirahi menjadi kolonial fasis
Ingin menaklukkan anak-anak negeri yang membela tanah air mereka
Ingin menguasai segala-galanya dengan kesadaran yang brutal
Aku juga sadar
Pecaplok masih suka membungkus kebusukan menyenga
Yang menusuk kemanusian dan kebebasan dengan jargon-jargon moralis
Mematikan perdamaian dan peradaban dengan logika senapan dan tradisi kekerasan
Menyebabkan permusuhan dan kebencian sambil menuduh negeri yang dijajah sebagai pelakunya
Aku sadar lagi
Pecaplok dan agresor itu telah menjadi pelupa sejati “ mereka tidak akan menjadi mampu malaikat pencabut nyawa bagi segala kehidupan yang sedang dihidupkan, sebab tuhan Tuhan telah berpesan “apabila telah datang kebenaran, lenyaplah segala kebathilan”, “apabila telah datang keadilan, lenyaplah segala penindasan” dan “apabila telah datang kemerdekaan, lenyaplah segala penjajahan”.
Tapi, aku dan anak negeri tidak bergerak untuk sebuah dendam
Aku dan anak-anak negeri berjuang dan berdo`a agar para pencaplok, para agresor, para kolonial mendapat petunjuk dari Tuhan sebelum Dia meredam sama sekali ambisi bengis mereka dengan kekuasaan-Nya, para tentara-Nya
Tuhan pun telah berjanji tidak akan membentengi do`a orang-orang yang ditindas
Perjuangan kaum-kaum yang dijajah
Majelis hakim dan jaksa penuntut yang terhormat, penasehat hukum dan para hadirin yang saya cintai. Setelah lebih kurang satu tahun empat bulan berada diluar penjara pemerintah RI dan berjuang bersama rakyat Aceh untuk sebuah pembebasan yang dami, pada dini hari raya Idul Adha, rabu 12 February 2003 saya kembali ditangkap oleh pemerintah tersebut, tentu dilakukan oleh kepolisiannya. Penangkapan ini dilakukan sesuai dengan kehendak hukum yang ada dalam interpretasi serta logika polisi sendiri. Tanpa didahului surat panggilan sekalipun, kecuali teror oleh intelijen dan intimidasi melalui media massa. Polisi bisa mengumumkan pen-DPO-kan ( Daftar Orang-orang yang Dicari), selanjutnya melakukan penangkapan dan penahana serta isolasi terhadap saya.
Pihak polisi melakukan penangkapan terhadap saya manakala petinggi-petinggi Jakarta seperti Menkosospolkam Soesilo bambang Yudhoyono, Kapolri Jenderal Dai Bachtiar dan panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto sedang berada di Banda Aceh. Sehari setelah penangkapan tersebut pejabat itu memberikan statemen di media-media massa bahwa mereka mendukung sepenuhnya penangkapan dan penahana terhadap saya. Sedangkan beberapa hari sebelum penangkapan issu-issu bahwa saya akan “dicairkan” sampai ke telinga saya. Saya sendiri tidak memahami secara baik apa sebenarnya yang dimaksud dengan mencairkan.
Yang jelas hal ini merupakan keputusan dari petinggi-petinggi TNI yang ditugaskan di Aceh, demikian berita itu sampai kepada saya. Upaya-upaya pelumpuhan gerakan sipil damai terus terjadi hingga menggunakan cara-cara brutal. Ini duri-duri yang harus lalui oleh sipil, sangat serius.
Sementara itu, selama beberapa kali Kapolda Aceh – salah seorang putra Aceh sendiri yang karirnya memuncak karena konflik Aceh – dalam apel pagi tidak bosan-bosan membriefing para anak buahnya bahwa Muhammad Nazar, Ketua SIRA itu adalah Provokator, Penghasut dan sebagainya. Itulah nyanyian menggelikan yang saya dengar dan wajah hukum bengis yang saya lihat dari terali besi di Mapolda Aceh. Tetapi saya sadar bahwa nyanyian dan wajah hukum yang ditunjukkan oleh Jenderal konflik itu tidak bisa dianggap sebagai penyebaran rasa permusuhan serta kebencian terhadap saya maupun rakyat Aceh, sebab
hukum berada dalam genggamannya seleranya bersama kolega-koleganya secara lembaga.
Begitulah realita Aceh saat ini. polisi dan Jaksa Penuntut telah mensortir pasal-pasal peninggalan kolonial Belanda untuk menuduh serta mendakwakan sayasebagai orang yang menyebarkan permusuhan dan kebencian terhadap pemerintah/negara RI. Pasal-pasal yang sangat membahayakan eksitensi kemanusiaan dan kebebasan ini telah dihapus dinegeri Belanda sendiri, tetapi tetap menjadi andalan robot-robot hukum dinegeri yang penuh lumuran darah ini.
Kemanusiaan dan kebebasan di Aceh memang sedang berada dalam kepungan pemerintah RI yang dilakukan dengan mengeksploitasi Jargon-jargon keamanan bagi rakyat Aceh dan alasan-alasan penegakan hukum
Praktek hukum yang penuh kegelapan dan kesesatan masih saja terjadi dan menargetkan rakyat Aceh yang sedang mengekspresikan Aceh sebagai Aceh, dan rakyat Aceh sebagai diri mereka sendiri. Pemerintah RI telah memaksakan kehendak politiknya hingga harus menggunakan jargon-jargon yuridis yang mengancam kemanusiaan dan menguburkan kebebasan.
Setiap manusia yang mempunyai hati nurani kemanusiaannya tentu tidak bisa mentelolir ketika orang orang Aceh yang menegakkan kemanusiaan, kebebasan dan perdamaian sianggap sebagai Provokator atau penghasut terhadap Pemerintah/Negara. Pemerintah/Negara RI memang sedang mengalami yang amat
sangat bahkan sudah menjadi paranoid terhadap kebenaran aspirasi dan kesadaran rakyat Aceh yang disebabkan oleh kesalahannya sendiri, sehingga bayang-bayang pun ditakuti, apalagi sebuah eksitensi rakyat sebagai mana yang terjadi saat ini.
Brutalisasi pun dan dilema sipil sejak semula saya sudah menduga bahwa intensitas pergerakan sipil yang mulai memuncak kembali pasca perundingan RI – GAM pada 9 Desember 2002 di Jenewa yang menghasilkan Kesepakatan
Penghentian Permusuhan (CoHA) atau mengalami dilema yang serius, yakni nasib tragis karena dikerasi dengan jargon-jargon keamanan dan hukum yang tidak manusiawi.
Padahal banyak pihak, khususnya rakyat Aceh mulai bisa bernafas dan optimis kembali dengan adanya perundingan tersebut. Bagaimanapun, CoHA atau perundingan-perundingan damai akan menjadi pintu emas yang baik bagi pencapaian solusi dan politik nantinya. Sedangkan penyelesaian konfrehensif dan kedamaian abadi hanya bisa dicapai dengan memberikan kesempatan kepada seluruh rakyat Aceh untuk mementukan nasib sendiri atau masa depan mereka melalui mekanisme yang damai dan demokratis.
Adanya kesepakatan peletakan senjata dan demiliterisasi serta jaminan bagi kebebasan sipil sebenarnya bisa menjadi modal bagi pembangunan perdamaian di tanah Aceh. Tetapi semua ini menjadi sirna manakala pemerintah RI dan pemerintah GAM belum berhasil membangun rasa saling percaya yang maksimal, masih menyimpan rasa saling curiga yang mendalam, pemaksaan kehendak politik yang belum bisa disepakati oleh rakyat Aceh. Serta hal yang sangat serius dan akan berdampak pada gagalnya perdamaian dalam jangka panjang adalah penggagalan kebebasan sipil dalam penghancuran nilai-nilai kemanusiaan, termasuk yang dilakukan atas nama penegak hukum.
Bagaimana mungkin pemerintah RI bisa ikut menyelesaikan konflik dan memajukan proses perdamaian apabila pada saat yang sama masih mengeluarkan taring-taring hukumnya yang brutal untuk melumpuhkan kebebasan dan kemanusiaan. Langkah dan prilaku seperti ini semakin mencerminkan keyakinan
kepada rakyat Aceh bahwa pemerintah RI hanya mengganti tulis saja, sehingga pemerintah RI tidak bebeda sama sekali dari pemerintah kolonial Belanda ketika menjajah bangsa-bangsa di Asia Tenggara dulu dari Aceh sampai Papua.
Saya sangat menyesalkan tindakan pemerintah RI yang masih berupaya menggagalkan peluang-peluang rakyat sipil untuk berdemokrasi. Sedangkan pada saat yang sama pemerintah mentelolir, bahkan membudayakan aksi-aksi brutal dan anarkis untuk menggagalkan perdamaian seperti terjadi di Aceh Tengah,
Aceh Timur, Aceh Barat dan Aceh Selatan misalnya. Aksi-aksi yang melibatkan milisi terlatih, intelijen dan preman ini mengatas namakan masyarakat sebagaimana sebelumnya serius terjadi di Timor Timur.
Pihak pemerintah RI dan pemerintah GAM, dalam CoHA pasal 2 point f sudah sepakat untuk tidak menghalang-halangi rakyat sipil Aceh yang berdemokrasi atau menyampaikan hak-hak demokrasi mereka. Tetapi pemerintah RI masih takut dengan kata-kata Referendum, merdeka, kebebasan dan kemanusiaan. Pemerintah RI seperti melupakan dirinya bahwa hak-hak demokrasi itu bersifat universal dan sesuai dengan apa yang berlaku dalam masyarakat universal, bukan demokrasi Pancasila, demikian dalam CoHA.
Pemerintah RI belum mampu membedakan antara separatisme dan kemerdekaan, Referendum, penentuan nasib sendiri dan pemilihan umum yang biasa. Sehingga pemerintah RI selalu terjebak dalam spiral kekerasan yang membabi buta dan logika senapan yang ganas itu. Pemerintah RI juga terjabak dengan jargon
jargon hukumnya sendiri yang berambisi menghukum ide dan pemikiran, menghakimi politik dan kebebasan.
bagaimana bahwa Jaksa penuntut umum begitu gampang dan berani mendakwakan saya sebagai seorang penyebar permusuhan dan kebencian serta penghasut. Jaksa Penuntut umum telah memberat dakwaannya itu berdasarkan inti-inti ceramah yang saya sampaikan sebagaimana yang tertulis dalam dakwaannya, demikian menurut Jaksa Penuntut.
Dakwaan tersebut terlalu mengada-ada atau barang kali jaksa penuntut umum telah bermimpi disuatu malam atau suatu siang bolong mendengar ceramah-ceramah yang saya sampaikan di Aceh utara dan Aceh Besar, sehingga dakwaannya sangat unik dan membuat saya tertawa setelah mendengar serta mendalaminya. Sebab bunyi-bunyi inti ceramah yang ditulis oleh jaksa penuntut umum tidak benar sama sekali.
Saya perlu menyampaikan kepada semua pihak, khususnya majelis persidangan ini bahwa yang saya sampaikan dalam ceramah-ceramah saya adalah semuanya untuk mendorong percepatan proses perdamaian di Aceh, perlunya gencatan senjata yang permanen, penegakkan kebebasan, kemanusiaa dan rakyat Aceh berhak menentukan masa depan mereka. Saya juga memenuhi undangan-undangan ceramah itu untuk menguji jaminan kebebasan sipil yang telah disepakati RI – GAM dalam CoHA. Menurut CoHA hak-hak demokrasi tidak dibatasi asalkan disampaikan secara damai.
Jadi, saya tidak pernah menyebarkan rasa permusuhan, kebencian terhadap pemerintah RI dan tidak pernah menghasut masyarakat. Saya hanya menyampaikan realitas yang terjadi selama ini atas Aceh mulai masa penjajahan kolonial Belanda sampai sekarang. Bahkan saya melihat bahwa pemerintah RI sendiri yang masih menyebarkan permusuhan dan kebenciannya terhadap Aceh serta orang-orang yang membela Aceh.
Permusuhan dan kebencian tersebut dilakukan sejak masa Soekarno dengan cara mengeksploitasi (menindas dan menjajah) kekayaan bumi Aceh sambil menipu dan membunuh rakyatnya. Permusuhan dan kebencian tersebut juga dilakukan dengan men-DPO-kan, menangkap, menghukum dan memenjarakan para Aktivis serta orang-orang yang membela kemanusiaan dan kebebasan.
Pemerintah RI, khususnya eksekutor-eksekutor yang ditugaskan atas nama penegakkan hukum sedang berada dalam kesadaran anti kemanusiaan dan kebebasan. Mereka sedang membunuh perdamaian dan peradaban, mereka masih nekad memborgol demokrasi, men-DPO-kan kebebasan, menghakimi keadilan dan menindas kemanusiaan.
Mungkin apa yang saya alami hanyalah bagian yang sangat kecil dari apa yang dialami ole rakyat Aceh lainnya. rumah mereka dibakar, perempuan diperkosa, hak dirampas, keluarga diculik lalu dibunuh dan mayat-mayat mereka dibuang dijalan-jalan atau bahkan ditempat-tempat yang tidak diketahui sama sekali.
Semua ini, sekali lagi akan membunuh perdamaian dan peradaban akan menguburkan demokrasi dan memenjarakan kemanusiaan.
Karena itu majelis hakim jangan sampai salah bertindak dengan keputusan hukumnya. Brutalisasi hukum sam sekali harus dihentikan. karena apa yang didakwakan Penuntut Umum terhadap saya adalah praktek hukum yang brutal dan membrutalkan hukum, disamping hal ini juga menguburkan demokrasi serta menindas kemanusiaan. Jadi, tidak ada kata lain kecuali hentikan penguburan demokrasi serta penindasan kemanusiaan!.
Wassalamualaikum Wr.Wb
Disampaikan oleh Muhammad Nazar; Ketua Dewan Presidium SIRA pada sidang di pengadilan Negeri Banda Aceh, senin, 28 April 2003
Berita Terkait:
Indonesia: Still Restrictions On Freedom of Speech