Banda Aceh, 15 Agustus 2010
Sehubungan dengan peringatan hari bersejarah penandatangan MoU Helsinki pada 15 Agustus 2005, SIRA merasa perlu mengingatkan kepada pemerintah RI atas kewajiban-kewajibannya yang belum dipenuhi dalam mengadakan dan melaksanakan undang-undang serta peraturan yang diperlukan sebagaimana ditentukan dalam MoU RI-GAM tersebut.
Kegagalan, penundaan yang berlarut-larut, pelaksanaan yang tidak maksimal, telah menimbulkan kegelisahan yang berat di kalangan rakyat Aceh, apalagi mengingat pernyataan Presiden SBY bahwa Pemerintah Pusat akan mengakhiri semua komitmennya terhadap UUPA pada akhir tahun 2010 ini, yang hanya tinggal beberapa bulan saja lagi.
Kekecewaan rakyat Aceh telah mencapai puncaknya ketika Menteri Keuangan menyatakan akan menganulir RPP Sabang sehingga menimbulkan reaksi demikian keras yang mengancam proses perdamaian yang sedang berjalan baik di Aceh. SIRA melihat insiden terakhir ini, dari serangkaian tindakan-tindakan Pemerintah Pusat yang lain, seolah-olah membuktikan kecurigaan rakyat Aceh bahwa pemerintah Indonesia tidak pernah jujur atau ikhlas dalam menyelesaikan perselisihannya dengan rakyat Aceh.
Dalam soal berbagai RPP yang belum diselesaikan, kita melihat beberapa yang krusial, termasuk:
1. RPP Pelimpahan Kewenangan kepada Dewan Kawasan Sabang (DKS) yang bahkan mau dianulir setelah mencapai titik akhir penyelesaiannya,
2. RPP MIGAS yang masih terkatung-katung
3. RPP tentang pengaturan Kewenangan Pemerintah Aceh
Seringkali hambatan yang terjadi bukan atas kebijakan pimpinan tertinggi Pemerintah Pusat, tapi dipermainkan ditingkat birokrasi, sehingga Pemerintah Aceh merasa ditipu. Keadaan ini jelas terjadi dalam peristiwa RPP Sabang ini, dimana Menteri Keuangan menyatakan tidak tahu menahu tentang keputusan hendak menganulir RPP Sabang oleh kementeriannya.
Kita mencatat dengan bangga tindakan segera Wagub Muhammad Nazar dalam menangani kejadian terakhir ini, tetapi tetap beranggapan bahwa hal itu tidak cukup. Kewajiban memelihara perdamaian adalah kewajiban seluruh rakyat Aceh. Oleh karena itu, SIRA mengambil kesempatan ini untuk menyatakan:
1) Kami menganggap pemerintah tidak serius dalam menangani pelaksanaan MoU/UUPA dan terkesan selalu menunda-nunda proses yang semestinya telah berjalan sejak 3 tahun yang lalu, namun tersendat tanpa alasan yang jelas. rakyat Aceh sudah jenuh dengan sikap pemerintah yang hanya menjadikan Aceh sebagai praktek regulasi tanpa kewenangan yang jelas. Tenggat waktu yang diberikan oleh Presiden SBY untuk seluruh penyelesaian UU yang menyangkut dengan UUPA/2006 berakhir pada bulan Desember 2010, telah membuat keresahan di tingkat pembuat kebijakan di Aceh dan juga masyarakat Aceh,
2) Kami menghimbau dan menyerukan kepada Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh agar bekerja serius dalam memperjuangkan ketetapan-ketetapan yang berlaku yang telah disepakati bersama untuk penyelesaian konflik di Aceh agar perdamaian yang adil dan bermartabat di Aceh benar-benar terwujud.
3) Sentra Informasi Referendum Aceh (SIRA) demi ikut serta mempertahankan proses perdamaian dan hak-hak Aceh sebagaimana di MoU, akan:
a. mengaktifkan dan menggerakkan seluruh kantor SIRA di wilayah Aceh,
b. menghidupkan kembali gerakan sipil rakyat untuk memonitor dan kalau perlu melakukan pembangkangan sipil secara damai guna menekan pemerintah secara demokrasi agar menjalankan amanah ini dengan baik,
c. SIRA akan melakukan aksi-aksi penyadaran dan pendidikan kepada masyarakat tentang pasal-pasal UUPA yang tidak sesuai dengan amanat MoU Helsinki dan semangat perdamaian
Kami disini ingin mengutip pernyataan Direktur CMI, mantan Presiden Finlandia, Marti Ahtisaari yang menjadi orang tengah perdamaian RI-GAM, sebagai menutup pernyataan pers ini:
“Tidak ada kekuasaan di dunia ini yang bisa menjamin berlanjutnya perdamaian jika salah satu pihak yang bertikai tidak jujur atau ikhlas dalam melaksanakan kesepakatan yang telah dipersetujui bersama.”
Dewan Presidium SIRA,
Shadia Marhaban,
Jurubicara
Sehubungan dengan peringatan hari bersejarah penandatangan MoU Helsinki pada 15 Agustus 2005, SIRA merasa perlu mengingatkan kepada pemerintah RI atas kewajiban-kewajibannya yang belum dipenuhi dalam mengadakan dan melaksanakan undang-undang serta peraturan yang diperlukan sebagaimana ditentukan dalam MoU RI-GAM tersebut.
Kegagalan, penundaan yang berlarut-larut, pelaksanaan yang tidak maksimal, telah menimbulkan kegelisahan yang berat di kalangan rakyat Aceh, apalagi mengingat pernyataan Presiden SBY bahwa Pemerintah Pusat akan mengakhiri semua komitmennya terhadap UUPA pada akhir tahun 2010 ini, yang hanya tinggal beberapa bulan saja lagi.
Kekecewaan rakyat Aceh telah mencapai puncaknya ketika Menteri Keuangan menyatakan akan menganulir RPP Sabang sehingga menimbulkan reaksi demikian keras yang mengancam proses perdamaian yang sedang berjalan baik di Aceh. SIRA melihat insiden terakhir ini, dari serangkaian tindakan-tindakan Pemerintah Pusat yang lain, seolah-olah membuktikan kecurigaan rakyat Aceh bahwa pemerintah Indonesia tidak pernah jujur atau ikhlas dalam menyelesaikan perselisihannya dengan rakyat Aceh.
Dalam soal berbagai RPP yang belum diselesaikan, kita melihat beberapa yang krusial, termasuk:
1. RPP Pelimpahan Kewenangan kepada Dewan Kawasan Sabang (DKS) yang bahkan mau dianulir setelah mencapai titik akhir penyelesaiannya,
2. RPP MIGAS yang masih terkatung-katung
3. RPP tentang pengaturan Kewenangan Pemerintah Aceh
Seringkali hambatan yang terjadi bukan atas kebijakan pimpinan tertinggi Pemerintah Pusat, tapi dipermainkan ditingkat birokrasi, sehingga Pemerintah Aceh merasa ditipu. Keadaan ini jelas terjadi dalam peristiwa RPP Sabang ini, dimana Menteri Keuangan menyatakan tidak tahu menahu tentang keputusan hendak menganulir RPP Sabang oleh kementeriannya.
Kita mencatat dengan bangga tindakan segera Wagub Muhammad Nazar dalam menangani kejadian terakhir ini, tetapi tetap beranggapan bahwa hal itu tidak cukup. Kewajiban memelihara perdamaian adalah kewajiban seluruh rakyat Aceh. Oleh karena itu, SIRA mengambil kesempatan ini untuk menyatakan:
1) Kami menganggap pemerintah tidak serius dalam menangani pelaksanaan MoU/UUPA dan terkesan selalu menunda-nunda proses yang semestinya telah berjalan sejak 3 tahun yang lalu, namun tersendat tanpa alasan yang jelas. rakyat Aceh sudah jenuh dengan sikap pemerintah yang hanya menjadikan Aceh sebagai praktek regulasi tanpa kewenangan yang jelas. Tenggat waktu yang diberikan oleh Presiden SBY untuk seluruh penyelesaian UU yang menyangkut dengan UUPA/2006 berakhir pada bulan Desember 2010, telah membuat keresahan di tingkat pembuat kebijakan di Aceh dan juga masyarakat Aceh,
2) Kami menghimbau dan menyerukan kepada Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh agar bekerja serius dalam memperjuangkan ketetapan-ketetapan yang berlaku yang telah disepakati bersama untuk penyelesaian konflik di Aceh agar perdamaian yang adil dan bermartabat di Aceh benar-benar terwujud.
3) Sentra Informasi Referendum Aceh (SIRA) demi ikut serta mempertahankan proses perdamaian dan hak-hak Aceh sebagaimana di MoU, akan:
a. mengaktifkan dan menggerakkan seluruh kantor SIRA di wilayah Aceh,
b. menghidupkan kembali gerakan sipil rakyat untuk memonitor dan kalau perlu melakukan pembangkangan sipil secara damai guna menekan pemerintah secara demokrasi agar menjalankan amanah ini dengan baik,
c. SIRA akan melakukan aksi-aksi penyadaran dan pendidikan kepada masyarakat tentang pasal-pasal UUPA yang tidak sesuai dengan amanat MoU Helsinki dan semangat perdamaian
Kami disini ingin mengutip pernyataan Direktur CMI, mantan Presiden Finlandia, Marti Ahtisaari yang menjadi orang tengah perdamaian RI-GAM, sebagai menutup pernyataan pers ini:
“Tidak ada kekuasaan di dunia ini yang bisa menjamin berlanjutnya perdamaian jika salah satu pihak yang bertikai tidak jujur atau ikhlas dalam melaksanakan kesepakatan yang telah dipersetujui bersama.”
Dewan Presidium SIRA,
Shadia Marhaban,
Jurubicara